“Kamu tahu apa satu kesalahan besar laki-laki?”
“Tidak. Apa itu?”
“Adalah mengatakan perasaannya tapi tidak siap untuk mengikatnya.
Begitu kata ibuku”
“Lalu kamu?”
“Aku merasa belum cukup kuasa untuk mengatakannya”
“Lalu bagaimana?”
“Aku akan memudahkan urusannya, membantu menyelesaikan masalahnya diam-diam. Membuat dia bahagia diam-diam. Dan
terakhir mendoakan dia dengan cara-cara yang ahsan”
***
Pernah
satu waktu, pagi hari. Matahari telihat malu untuk menampakan dirinya dan memperlihatkan
keindahannya. Dia muncul namun bersembunyi dibalik tebalnya awan. Tapi itu
tidak mengurangi keindahannya dan rasa terimakasih ku, padanya matahari dan
padamu yang menemani.
Terimakasih....
Terimakasih
telah bersedia bersabar.
Bersabar
atas perasaan yang sedang tumbuh begitu kuatnya.
Bersabar
atas menunggu waktuku yang lebih luang.
Terimakasih
telah bersedia menjaga diri.
Menjaga
diri dari segala macam perasaan yang mencoba datang padamu.
Menjaga
diri dari perasaanku yang sedemikian rupa.
Terimakasih
telah bersedia percaya.
Percaya
pada jarak yang sama sekali tidak mau mengalah dan akhirnya membuat rindu itu menjadi sakral.
Percaya pada
doa yang selalu bisa menentramkan yang bersedih, mendekatkan yang jauh, menguatkan
yang lemah, dan menyatukan yang terpisah.
Terimakasih...
Karena
sekarang kita paham bahwa yang berharga tidak dengan mudah dapat dimiliki.
Karena sekarang
kita percaya bahwa untuk menjadi indah, kita butuh waktu.
Pagi ini
dan seterusnya, aku akan berdoa bagaimanapun caranya. Semoga Allah melembutkan
hati orang-orang terdekat kita. Semoga Allah memberikan keluasan hati pada diri
kita untuk menerima segala bentuk kekurangan dan kelebihan satu sama lain.
Saat ini, kita sedang diuji dengan kehadiran
masing-masing. Kita sama-sama menjadi ujian satu sama lain. Dan aku tidak mau
membiarkanmu terlalu lama berasumsi, menerka-nerka sesuatu yang selama ini
tidak terucapkan.
***
“Boleh rindu asal tidak
lupa berdoa” katamu pagi itu